Banjir Tanpa Sebab, Kayu Tanpa Asal: Ketika Negara Menyangkal Jejak di Hulu

Oleh Suhardi | Dosen Universitas Bina Sarana Informatika
signaltodays.com_ Penyebab Banjir Sumatra akibat Pemerintah lalai. Ada pemandangan yang sulit diabaikan dari Aceh Tamiang: ribuan batang kayu gelondongan menumpuk rapi, tertahan bangunan pesantren. Seolah sungai berubah menjadi jalur distribusi kayu raksasa. Namun di tengah visual yang nyaris tak terbantahkan itu, negara justru menyampaikan satu kesimpulan yang terdengar meyakinkan sekaligus menggelitik nalar Penyebab Banjir Sumatra tidak berkaitan dengan pembalakan liar.
Pernyataan ini tentu patut dicatat sebagai prestasi narasi. Sebab, jarang sekali kita menyaksikan kayu-kayu berdiameter besar mampu berpindah dari hulu ke hilir, melintasi sungai dan desa, tanpa pernah bersentuhan dengan aktivitas manusia. Jika benar demikian, maka kita mungkin harus merevisi banyak buku pelajaran tentang ekologi, sebab-akibat, dan logika dasar.
Kementerian Kehutanan—dengan segala otoritas dan perangkat datanya—seolah ingin meyakinkan publik bahwa banjir hanyalah peristiwa alamiah yang berdiri sendiri. Hujan turun, sungai meluap, kayu kebetulan ikut hanyut. Sederhana, bersih, dan bebas dari campur tangan manusia. Masalahnya, alam jarang bekerja sesederhana siaran pers.
Dalam konteks Sumatra, banjir bukanlah cerita baru. Hampir setiap tahun, wilayah-wilayah di Aceh, Sumatra Barat, hingga Sumatra Selatan menghadapi pola yang sama. Hujan lebat, sungai meluap, lalu kayu-kayu besar muncul entah dari mana. Anehnya, pola ini terus berulang, sementara penjelasan resminya nyaris tak pernah berubah.
Baca Juga: Pertemuan Antara Rasa dan Makna
Tentu, tidak semua banjir disebabkan pembalakan liar. Itu benar. Namun menafikan hubungan antara kerusakan hutan dan bencana hidrologi sama berbahayanya dengan menutup mata saat alarm berbunyi. Ketika daerah aliran sungai kehilangan tutupan hutan, tanah kehilangan daya serap, dan kayu-kayu tak lagi tertahan di hulu. Maka banjir bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan.
Mulut Pemerintah yang tak Peka
Alam tampak bekerja lebih jujur dibanding birokrasi. Ia menghadirkan bukti visual: kayu gelondongan, lumpur, arus deras, dan kerusakan. Sementara negara justru sibuk memilah diksi—apakah ini “pembalakan liar”, “kayu terbawa arus”, atau sekadar “material alami”. Seakan-akan bencana bisa diredam dengan pilihan kata yang tepat.
Bagi masyarakat di hilir, perdebatan istilah ini terasa jauh dari realitas. Mereka kehilangan rumah, akses jalan, air bersih, bahkan rasa aman. Pesantren yang tertimbun kayu mungkin menjadi simbol ketahanan, tetapi juga menjadi monumen sunyi dari kegagalan pengelolaan hutan di hulu.
BacaJuga: Penipuan Berkedok Cluster Syariah di Kabupaten Karawang
Kementerian Kehutanan seharusnya tidak sekadar hadir sebagai juru bicara yang menenangkan. Publik menunggu lebih dari itu: transparansi data, penelusuran asal kayu, evaluasi izin konsesi, dan keberanian menyebut masalah dengan nama aslinya. Sebab, menyangkal masalah tidak akan membuatnya hilang; ia hanya menunggu hujan berikutnya.
Jika setiap banjir selalu dianggap sebagai peristiwa alam murni, maka kita sedang membangun tradisi berbahaya. Tradisi mengulang bencana tanpa pernah belajar. Negara tidak kehilangan wibawa ketika mengakui keterkaitan antara kebijakan, pengawasan hutan, dan dampak lingkungan. Justru sebaliknya, wibawa runtuh ketika publik merasa kecerdasannya diremehkan.
Aceh Tamiang hari ini bukan sekadar kabar banjir. Ia adalah cermin. Pertanyaannya, apakah kita berani menatap pantulan itu—atau kembali menyalahkan hujan, sambil membiarkan kayu-kayu berikutnya bersiap hanyut?



