Damar Kambang : Tradisi Sakral Masyarakat Madura
Signaltodays.com_ Sebuah Resensi Novel Damar Kambang oleh Rik Rik Fuad Wahab. Sebuah karangan prosa bercerita tentang tradisi nusantara mengandung banyak makna dan pesan moral yang tersirat dalam setiap bait.
Judul : Damar Kambang
Pengarang : Muna Masyari
Penyunting : Udji Kayang
Penata Letak : Teguh Tri Erdyan
Perancang Sampul: Teguh Tri Erdyan
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : vii + 200 hlm
Rilis : Desember 2020
Damar kambang sebuah novel karya Muna Masyari nama pena dari Munawaro M, diterbitan pada bulan Desember 2020 oleh Kepustakaan Popular Gramedia, jumlah total halaman 200 halaman yang mana bisa dibaca untuk sekali duduk.
Damar kambang bercerita tentang budaya Madura, khususnya dalam adat pernikahan yang mana saya sangat beruntung bisa mengetahui budaya tersebut meskipun dalam bentuk novel, terus terang saya sama sakali baru mengenal budaya hantaran yang begitu sakralnya dikalangan masyarakat Madura.
Di awal cerita memang sudah nampak jelas bahwa pergulatan cerita ini akan penuh dengan teka teki karena pada bab awal yang berjudul Gubeng diakhiri dengan cerita yang menggantung, yang mana bab selanjutnya yaitu Mokka Blabar menjadi titik awal penceritaan Chebing salah satu tokoh utama ini berlangsung.
Buku ini terdiri dari 12 bab:
- Gubeng
- Mokka Blabar
- Balik Perahu
- Angin Kiriman
- Damar Kembang Kedua
- Pemetik Daun Muda
- Kenangan Hitam
- Kembang Rahasia
- Pilihan Diatas Nampan
- Layang-layangan Tersangkut Diranting
- Menyusuri Jejak
- Menuai Buah Berduri
Penjelasan secara rinci dalam adat pernikahan budaya Madura sangat jelas dalam novel ini, saya ambil contoh ketika persiapan Chebing menikah dengan Kecong, penulis benar-benar menulis dengan rinci penggambaran keadaan, sosok, lokasi dalam pelaksanaan pernikahan seakan-akan kita benar-benar berada dalam situsai tersebut.
Kalau novel ini dibuat film sih kayaknya bagus banget karena sangat visual sekali, semoga ya mba Muna M, suatu hari nanti novel ini bisa berpindah medium ke film, Aamiin. Semoga Sutradara nya oleh mas Riri Reza dan Mira Lesmana sebagai produser nya.
Isu yang penulis ingin sampaikan Damar Kambang mengenai pernikahan dini dibawah umur, yang mana Chebing salah satu tokoh ini masih berusia 14 tahun kemudian isu patriarki
Hak perempuan dalam hal memilih memang sangat sulit sekali kalau kita lihat dalam novel ini, dimana suara perempuan sama sekali tidak didengar
Naas sekali memang kalau saya merasakan dalam posisi Chebing selalu menjadi korban tidak bisa berbuat apa2
Cerita dalam novel ini di dominasi oleh keputusan-keputusan kaum laki-laki sebagaimana tadi saya sampaikan bahwa novel ini mengangkat salah satunya tentang isu patriarki, disini ayah Chebing, Kecong dan ayah Kecong memiliki suara terbanyak dalam setiap pengambil keputusan
Kemudian yang menjadi akar permasalahan dari semua cerita ini adalah kesalahpahaman antara orang tua dari kedua mempelai, atau lebih tepatnya tidak ada pembicaraan yang saling terbuka, memang tradisi adat mengenai gengsi dan ego sangatlah sulit untuk diubah di kalangan masyarakat kita. Pertanyaan nya apa sih yang menjadi akar permasalahan nya? Maka yang penasaran boleh langsung baca, bisa digital atau fisik, saya pun baca nya melalui Gramedia digital.
Bab yang paling suka adalah Mokka Blabar, karena ini awal dari segala cerita, kemudian ada adegan dimana Chebing ketika bersama ibu perias yang menjelaskan simbol dari damar kambang itu sendiri, penjelasan mengenai wadah, minyak kelapa, pelepah pohon pisang, pintalan kapas dan api
Quote yang paling saya suka adalah “Orangtua tidak akan melepas anak gadisnya untuk lelaki yang tidak membawa rumah, karena sama artinya memeberikan burung pada tuan yang tak memiliki sangkar. Ketika dipegang kuat, ia akan tersiksa. Tapi jika pegangannya tidak kuat, ia mudah lepas. Itulah kenapa burung yang sudah bertuan membutuhkan sangkar“
Ada beberapa catatan saya ketika menyelesaikan novel ini, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada penulis:
Pertama, mengenai kosakata Madura dalam novel ini yang disimpan di glosarium dibandingkan di tulis di catatan kaki, bagi saya yang tak mengenal sama sekali mengenai bahasa ataupun budaya Madura sangat dimudahkan sekali jika kosakata Madura tersebut disajikan dalam bentuk catatan kaki sehingga tidak usah bulak balik ke halaman belakang untuk mengecek glosariumnya.
Baca Juga : Cara Membuat Page Facebook di smartphone
Kedua, ada beberapa sudut pandang dalam cerita ini, beberapa kali saya salah menduga siapa yang sedang berbicara, apakah ini Chebing, ibu Kacong atau Nyai Marinten.
Ketiga, ceritanya kalau bisa diperpanjang mungkin akan memenuhi rasa penasaran selanjutnya karena diakhir-akhir saya merasa novel ini serasa terburu-buru untuk cepat berakhir.